Minggu, 04 Desember 2011

Maskawin : Antara Adat dan Syariat

Setiap daerah mempunyai kebiasaan dan budaya yang berbeda. Kata-kata bijak dari khasanah budaya jawa mengabadikan kondisi tersebut dengan ungkapan : negoro mowo toto, deso mowo coro. Bahkan di dalam kajian ushul fikih, pertimbangan budaya atau adat juga termasuk menjadi salah satu metodologi pengambilan sebuah hukum. Ketika sebuah adat tidak bertentangan dengan syariat, maka bukanlah sebuah cela saat seorang muslim ikut meramaikan dan mensyiarkannya. Pada sisi ini, barangkali fenomena mudik, lebaran, dan halal bihalal nampaknya menjadi contoh yang gamblang tentang akomodasi syariat terhadap nilai-nilai budaya. Lebih menarik lagi di Minangkabau, antara adat dan syariat ternyata bersintesis dengan baik hingga menampilkan wajah : "Adat basandi syara', syara' basandi kitabullah", yang artinya adat bersendikan syariat (ajaran agama) dan syariat bersendikan kitab Allah SWT (Al Qur'an). Subhanallah
.

Begitu pula saat kita bicara pernikahan, pastilah akan membahas tentang budaya dan adat yang ada seputarnya. Ada adat yang menyalahi syariat, ada pula yang masih dalam koridor syariat. Tentu disini bukan tempat untuk membahas satu persatu adat dan budaya pernikahan yang menyalahi syariat. Saya hanya ingin sekedar berbagi tentang keunikan perbedaan budaya pernikahan antara masyarakat di Indonesia dan di Arab. Keduanya sama-sama mempunyai budaya yang unik seputar pernikahan, berbeda satu sama lainnya, bahkan saling bertentangan, tapi sama-sama dalam batas koridor syariat. Budaya yang unik tersebut diantaranya :

Budaya Mahar di Indonesia

Bagi masyarakat Indonesia secara umum, mahar tidak identik dengan sesuatu yang besar dan bernilai tinggi. Mereka cukup sederhana dalam menentukan besaran mahar, yang penting ada kenangan dan kesan yang mendalam bahkan setelah bertahun-tahun pernikahan. Pada sisi ini bolehlah kita menyebutnya sebagai sebuah hal yang romantis. Masyarakat kita memang menyukai simbol, karena mahar pun biasanya identik dengan simbol keagamaan atau kasih sayang. Biasanya seperangkat alat sholat, plus beberapa gram perhiasan. Ada juga yang bernilai besar, tapi tidak setara dengan kekayaannya, karena mereka menginginkan sebuah kenangan. Pernikahan artis yang kaya raya misalnya, ternyata besaran maharnya ‘tidak seberapa’ karena disesuaikan dengan tanggal pernikahan mereka yang hanya berderet 6 sampai 8 angka.

Dalam sebuah pernikahan, nampaknya mahar di Indonesia menjadi aksesoris pelengkap saja yang tidak banyak menyita pikiran orang. Pihak mempelai maupun orangtua biasanya lebih ‘heboh’ dalam membahas pesta pernikahan, prosesi, dan ritualnya daripada menyinggung soal mahar. Mungkin juga ini adalah bentuk aplikasi budaya ewuh pakewuh dan masih melekat dalam masyarakat kita. Keunikan lain juga, biasanya mahar hanya berupa hal-hal tertentu saja sebagaimana yang disebutkan di atas, tetapi selain itu terkadang mempelai laki-laki malah memberikan ‘hadiah tunangan’ yang jumlahnya jauh lebih besar dan berlipat-lipat dari mahar yang diberikan. Unik memang.

Budaya Mahar di Saudi

Lain di Indonesia, lain di masyarakat arab sana. Di negara tambang minyak itu sejak dulu kala sangat dikenal dengan mahalnya sebuah mahar menuju pernikahan. Budaya ini pun kemudian melahirkan kegelisahan dan persoalan di tengah masyarakat, karena banyaknya pemuda dan wanita yang tak kunjung menikah meski usia melewati kepala tiga dan empat. Hingga pemuda-pemuda Saudi saat ini berkampanye lewat internet mengajak untuk tidak menikahi perempuan Saudi. Hal itu diakibatkan semakin mahalnya mas kawin dan biaya resepsi pernikahan (Saudi Gazette, 11 Feb 09).

Lalu berapa besar sih mahar khas Arab itu ? Di Saudi misalnya, jika seorang pemuda mau menikahi gadis di sana, biasanya harus menyiapkan : mahar / mas kawin 40.000,- Real atau 90 Juta rupiah dan biaya pesta 15.000 Real atau 40 Juta. Itu belum syarat lainnya seperti : calon suami harus memilki rumah dengan furniture lengkap walaupun sewa, calon suami kalo bisa memliki mobil untuk transportasi walaupun yang jadul sekalipun. Nah, besar sekali bukan ? Jika mau dibandingkan dengan negara kita, kalau mahar itu cukup ‘rukuh dan sajadah’, maka di Arab bisa jadi maharnya adalah “ pabrik rukuh dan sajadahnya”.

Lalu bagaimana besaran mahar secara syariat ?

Mahar tidak lain adalah sebuah pemberian, karenanya bisa berbeda besarannya dan tidak pernah ditentukan kadarnya karena disebut besar tidaknya sangat bergantung dengan kemampuan finansial yang memberi. Karenanya para ulama bersepakat tidak ada batas maksimal dalam pemberian mahar. Ini dilandaskan pada firman Allah SWT : “sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak (qinthaar),” (QS Nisa 20). Pernah ada upaya Umar bin Khotob membatasi besaran mahar, tetapi ditentang dan dibatalkan karena bertentangan dengan ayat di atas. Jadi, nampaknya masyarakat Saudi mengoptimalkan mengambil peluang sisi ini, karena secara syariat tidak ada batas maksimal dalam mahar.

Namun, meskipun demikian, syariat tetap menganjurkan untuk mempermudah hal-hal yang berhubungan dengan mas kawin seperti yang tertera dalam sabda Rasulullah: “ "Sesungguhnya wanita yang paling banyak berkahnya adalah wanita yang paling sedikit/murah mas kawinnya."(HR Thobroni)

Adapun tentang batas minimal, maka memang ada perbedaan ulama seputar masalah ini, sebagai berikut :

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham ( ada juga riwayat : seperempat dinar). Mereka mengkiaskan (menyamakan) hal ini dengan wajibnya potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai seperempat dinar atau lebih.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham atau satu dinar. Ini berlandaskan bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak pernah kurang dari 10 dirham.

Catatan : jika dikonversikan ke rupiah, dimana 1 dinar adalah 4,25 gram emas 22 karat, maka batas minimal mahar versi Malikiyah adalah sekitar Rp 300.000,- dan Hanafiyah adalah 1 juta lebih sekian.

Sementara itu Ulama Syafi'iah (yang madzhabnya tersebar di Indonesia) dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal, yang penting bahwa sesuatu itu bernilai atau berharga maka sah (layak) untuk dijadikan mas kawin (termasuk seperangkat alat salat). Mereka mendasarkan pendapatnya pada keumuman ayat Al-Quran : "Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian, yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk dizinai" (Q.S. al-Nisa' : 24). Maka harta dalam ayat tersebut bersifat umum bisa besar dan kecil. Begitu pula ditambah dalil lain tentang bagaimana Rasulullah SAW menikahkan sahabat dengan hafalan quran bahkan dengan cincin besi.

Nah, barangkali karena Indonesia menganut madzhab syafii yang tidak mempunyai batas minimal mahar, maka sangat wajar jika kemudian kita lihat masyarakat kita pun tak begitu peduli dengan besaran mahar, apa adanya dan sewajarnya saja. Uniknya ini tidak berlaku di Saudi yang bermadzhab Hanbali, semestinya mereka tidak terlampau strict soal besaran mahar. Wallahu a’lam bisshowab .




http://www.indonesiaoptimis.com/2009/11/maskawin-antara-adat-dan-syariat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar